ALKISAH,
pada zaman dahulu, di Pulau Bali memerintahlah seorang raja yang adil
dan bijaksana. Karena bijaksana dan adilnya, sang Raja sangat disegani
dan disayangi rakyatnya. Dikisahkan sang Raja ini mempunyai seorang
putri yang cantik jelita. Kecantikannya terkenal hingga ke berbagai
pelosok. Hingga setelah menginjak dewasa, banyak pemuda daerah lain
hendak melamarnya untuk dijadikan istri.
| |
“Mengapa
putriku selalu menolak setiap lamaran yang datang?” begitu tanya
baginda dalam hati. Baginda raja merasa heran dengan kelakuan putrinya
itu. Ia juga malu kepada raja-raja sekitarnya serta khawatir kalau-kalau
ada sesuatu yang disembunyikan putrinya.
Karena
penolakan tersebut selalu terjadi berulang-ulang, baginda pun
bermusyawarah dengan permaisuri. Mencari tahu apa yang membuat sang
putri menolak setiap lamaran pemuda yang ingin menjadikannya sebagai
istri. Akhirnya, sepakatlah mereka berdua untuk memanggil sang putri dan
menanyakan langsung kepadanya.
Pada
satu saat permasisuri pun memiliki kesempatan yang tepat untuk
memanggil putrinya dan menanyakan latar belakang tingkah lakunya.
“Anakku yang cantik, mengapa selama ini ananda selalu menolak lamaran
yang datang?” tanya sang permaisuri.
Ditanya
demikian sang putri sempat terdiam sesaat. Akhirnya dengan berat hati,
sedih bercampur malu sang putri pun menerangkan sikapnya. ”Bukanlah
ananda tidak mau menerima lamaran itu. Tapi, merasa malu dengan penyakit
yang sedang ananda derita ini,” jawab sang Putri. “Penyakit apakah yang
sedang Ananda derita?” tanya sang Permaisuri lagi.
Ditanya
demikian sang putri kembali terdiam. Dia tak berani menatap ibunya.
Sang Permaisuri pun segera mendekati sang Putri dan memeluk putri
kesayangannya itu. Dalam pelukan permaisuri, sambil terisak, sang Putri
pun menceritakan ihwal penyakit yang sedang ia derita. Ia menderita
penyakit kelamin.
Mendengar
jawaban itu, permaisuri pun mengerti dan merasa sedih dengan nasib
putrinya itu dan menyampaikannya kepada baginda. Mendengar berita itu
baginda sangat bingung. Ia tak tahu harus berbuat apa. Hingga akhirnya
ia memutuskan untuk membuat sayembara. Dipanggilnya hulubalang istana.
“Hai
hulubalang, buatlah sebuah pengumuman ke seluruh negeri ini. Barang
siapa dapat menyembuhkan sang putri, sebagai hadiah akan dinikahkan
dengan putriku,” perintah baginda.
Disebarkanlah
pengumuman itu ke seluruh negeri. Banyak orang yang datang untuk
mencoba menyembuhkan sang putri. Namun, setelah berbagai ikhtiar
dilakukan, tak satu pun yang berhasil. Putuslah harapan baginda terhadap
kesembuhan putrinya. Karena tak berhasil, baginda pun memilih menempuh
jalan lain. Mengasingkan sang putri ke sebuah semenanjung, di sebelah
utara Pulau Bali.
Setelah
segala sesuatu disiapkan, diantar baginda dan permaisuri beserta
pembantu-pembantu istana yang telah ditentukan, sang putri berangkat ke
tempat pengasingannya. Sesampai di tempat yang dituju, di tengah hutan,
sang putri ditinggal sendiri. Kemudian, setelah memohon kepada dewata
bagi perlindungan anaknya, dengan sedih baginda pun meninggalkan tempat
tersebut.
Sebetulnya
di hutan itu sang putri tak sendiri. Ia ditemani seekor anjing, bernama
Tumang. Sesekali waktu datang beberapa orang pembantu istana datang
melihat keadaannya sambil membawakan segala keperluan hidup.
Suatu
hari, ketika sang putri sedang buang air kecil, dilihat oleh Tumang,
anjing peliharaannya itu. Lalu, Tumang pun menjilati air kencing sang
putri, juga sisa-sisa air kencing yang melekat di kemaluan sang putri.
Sang putri pun membiarkannya. Kejadian seperti itu berlangsung hampir
setiap kali sang putri kencing dan cukup lama. Satu keanehan terjadi.
Penyakit yang diderita sang putri berangsur sembuh.
Sudah
menjadi hukum alam bahwa, manusia adalah makhluk yang lemah. Begitu
juga dengan sang putri. Sebagai seorang gadis remaja, ia juga
mendambakan kehangatan kasih mesra seorang kekasih. Karena tanpa
pengawasan, ditambah lagi asmara yang sedang menggelora, maka perbuatan
dengan anjingnya itu berubah sebagai pelampiasan nafsunya yang sedang
menggelora. Hari berganti pekan, pekan berganti bulan, kebiasaan sang
putri berujung menjadi hubungan kelamin antara kedua makhluk berlainan
jenis dan keturunan itu, hingga akhirnya sang putri pun mengandung.
Ketika
rombongan dari istana datang meninjau, kelihatanlah bahwa keadaan putri
telah berubah dari biasanya. Melihat keadaan itu, pemimpin rombongan
menanyakan kejadian sebenarnya yang dialami sang putri. Setelah didesak,
sang putri pun berterus terang dan menceritakan apa yang telah
dilakukannya dengan si Tumang.
Begitu
kembali ke istana, kabar buruk itu pun langsung disampaikan pemimpin
rombongan kepada baginda dan permaisuri. Begitu mendengar kabar
tersebut, bukan main murkanya baginda. Ingin rasanya ia segera menyudahi
putrinya itu.
Setelah
beberapa hari berfikir, baginda mendapat cara untuk menyelesaikan
persoalan yang menimpa putrinya tersebut. Pada suatu malam, baginda
mensucikan diri dan memohon kepada dewata agar putrinya dihukum dengan
jalan menghancurkan tempat yang dihuni putrinya berhubung tempat
tersebut telah menjadi kotor, sehingga akan mencemarkan nama baik
baginda.
Dengan
kehendak dewata, beberapa hari kemudian turun hujan sangat deras
disertai angin ribut yang sangat besar. Sekejap kemudian putuslah bagian
semenanjung utara Pulau Bali yang ditempati sang putri diasingkan, lalu
hanyut terapung-apung dibawa gelombang ke utara.
***
ADALAH
Datu’ Malim Angin dan Datu’ Langgar Tuban, yang sedang memancing ikan
menggunakan perahu sampan. Tengah asyik memancing, mereka berdua
dikejutkan pemandangan aneh. Tak jauh dari tempat mereka memancing
nampak sebuah pulau hanyut melintas terbawa arus laut.
Dalam
keheranan, Datu’ Malim Angin segera mengayuh sampannya dan mengejar
pulau hanyut tersebut. Begitu berhasil mencapai salah satu bagian pulau
tersebut, Datu’ Malim Angin segera naik ke daratan dan mengikatkan tali
sauh pada potongan sebatang pohon (konon kabarnya pohon mali berduri,
red.). Setelah mengikatkan tali sauh di potongan pohon tersebut, Datu’
Malim Angin segera menancapkannya pada sebuah gunung dan melemparkan
jangkarnya ke laut. Seketika pulau hanyut itu pun berhenti. Namun,
karena baru terikat pada satu tiang, pulau itu terus berputar.
Melihat
pulau tersebut masih terus berputar-putar, Datu’ Malim Angin pun
berlari ke arah berlawan dari kayu pertama tadi. Pada sebuah gunung
Datu’ Malim Angin berhenti dan mematahkan sebatang pohon baru’ (pohon
waru, red.), lalu menancapkannya pada puncak gunung dimana ia tadi
berhenti. Setelah itu barulah pulau hanyut tersebut berhenti berputar.
Secara
turun temurun cerita pulau Bali yang Terpotong ini berkembang secara
lisan di masyarakat. Lama kelamaan penyebutannya berubah menjadi
Belitong.
Konon,
gunung tempat pertama Datu’ Malim Angin menambatkan tali sauhnya
dikenal dengan Gunung Baginde, terletak di Kampung Padang Kandis,
Membalong. Gunung ini, oleh mereka yang percaya, dikenal sebagai pancang
Selatan Pulau Belitung. Dan, juga menurut mereka yang percaya, sampai
sekarang Datu’ Malim Angin masih ‘mendiami’ / menguasai gunung tersebut.
Sedang gunung kedua, adalah Gunung Burung Mandi.
Penulis: BULE SAHIB source by : http://folktalesnusantara.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar